Gunung Gede Panrango, Pendakian yang penuh Drama; part; 3 (selesai)
Menaklukan Puncak;
Angin dingin yang menusuk rusuk, membuat saya terjaga dari rasa kantuk. Semalaman saya berdiam diri untuk mencari posisi. Posisi yang pas agar saya bisa membaringkan badan dengan santai, tapi sepertinya keadaaan bertolak belakang dengan keinginan.
Saya, Emir, dan Kakak berada dalam satu tenda yang berkapasitas dua orang, sedangkan Teteh dan Denan di tenda lainnya yang juga berkapasitas dua orang. Mengapa hanya kami bertiga yang berada dalam satu tenda?, nanggung, jadi lebih memilih berdempet-dempetan ketimbang meminjam/menyewa tenda lainnya.
Sepanjang malam, saya hanya terdiam. Penyesalan untuk ikut mendaki juga seringkali melintas, diiringi dengan gerutu yang menetas. Rencananya jam 3 pagi kami akan menginjakan kaki di puncak, tapi yang ikut hanya para lelaki. Teteh dan Denan sengaja tak ikut; Ga kuat, capek, kata mereka dengan raut wajah yang melelahkan.
Jam tangan menunjukan pukul 5 pagi, kami telat 2 jam untuk mendaki puncak. Musabab akhirnya saya bisa tidur lelap. Kendati hanya beberapa jam, tapi rasanya rileks sekali bisa tidur dalam kondisi lelah.
Kami bertiga bersiap-siap, mulai dari peralatan maupun mental; semuanya harus siap, karena puncak; bukanlah suatu hal yang harus diremehkan...
Kami mendaki bersama para pendaki lainnya. Jalur menuju puncak yang curam, dihiasi dengan cahaya yang menembus gelap temaram, membuat keadaan semakin suram. Lagi asyik bertegur sapa dengan para pendaki yang melintas, tiba-tiba saya sesak nafas. Tangan bergetar terus-terusan, degup jantung yang cepat layaknya seperti berada dalam perlombaan untuk mengalahkan lawan. Lantas, Kakak meng-isyaratkan untuk berhenti sejenak, sembari mengatur nafas yang dari tadi abstrak.
Selang beberapa jam kemudian, kami tiba di puncak Gunung Gede Panrango via Gunung Putri...
Saya, Emir, dan Kakak berada dalam satu tenda yang berkapasitas dua orang, sedangkan Teteh dan Denan di tenda lainnya yang juga berkapasitas dua orang. Mengapa hanya kami bertiga yang berada dalam satu tenda?, nanggung, jadi lebih memilih berdempet-dempetan ketimbang meminjam/menyewa tenda lainnya.
Sepanjang malam, saya hanya terdiam. Penyesalan untuk ikut mendaki juga seringkali melintas, diiringi dengan gerutu yang menetas. Rencananya jam 3 pagi kami akan menginjakan kaki di puncak, tapi yang ikut hanya para lelaki. Teteh dan Denan sengaja tak ikut; Ga kuat, capek, kata mereka dengan raut wajah yang melelahkan.
Jam tangan menunjukan pukul 5 pagi, kami telat 2 jam untuk mendaki puncak. Musabab akhirnya saya bisa tidur lelap. Kendati hanya beberapa jam, tapi rasanya rileks sekali bisa tidur dalam kondisi lelah.
Kami bertiga bersiap-siap, mulai dari peralatan maupun mental; semuanya harus siap, karena puncak; bukanlah suatu hal yang harus diremehkan...
Kami mendaki bersama para pendaki lainnya. Jalur menuju puncak yang curam, dihiasi dengan cahaya yang menembus gelap temaram, membuat keadaan semakin suram. Lagi asyik bertegur sapa dengan para pendaki yang melintas, tiba-tiba saya sesak nafas. Tangan bergetar terus-terusan, degup jantung yang cepat layaknya seperti berada dalam perlombaan untuk mengalahkan lawan. Lantas, Kakak meng-isyaratkan untuk berhenti sejenak, sembari mengatur nafas yang dari tadi abstrak.
Selang beberapa jam kemudian, kami tiba di puncak Gunung Gede Panrango via Gunung Putri...
Berdiri tegap, dengan perasaan haru yang menancap, saya melihat; betapa indahnya pemandangan yang disuguhkan oleh Gunung, perasaan sesal seketika tergulung.
Beruntungnya, saat kami sampai, matahari baru menampakan dirinya, atau biasa disebut sunrise. Setelah memanjakan mata, mengisi perut dengan cemilan, dan berfoto ria. Kami memutuskan untuk segera turun, sarapan, lalu pulang dengan rasa kangen akan orang tua dirumah.
Awan putih menggebu, matahari masih malu-malu. Dihiasi dengan garis kuning disudut cakrawala, membuat perasaan "lelah", mengudara. Angin dingin yang menembus baju, menciptakan rindu padamu. Syahdan, kelak suatu saat, kamu akan aku ajak kesini, melihat mentari yang menjulang tinggi, sembari tertawa dengan wajah berseri.
Pendakian mengajarkan saya, bahwasanya seberat apapun perjuangan manusia, hasilnya tak akan membuat kecewa.
Perjuangan dibagi menjadi dua; Perjuangan dengan rasa syukur/Perjuangan yang diiringi dengan rasa ngeluh dan insecure.
Kita ibaratkan dengan pendakian ini:
Mendaki dengan rasa pantang menyerah, akan membuahkan hasil yang membuat senyum semringah. Lain cerita dengan mendaki yang dihiasi dengan perasaan keluh kesah dan ingin menyerah. Jangan heran, kalau kamu mendapatkan kekecewaan.
Bukan-nya saya menggurui. Saya hanya menasehati, untuk orang lain.. Maupun saya sendiri.
SALAM.....
Perjuangan dibagi menjadi dua; Perjuangan dengan rasa syukur/Perjuangan yang diiringi dengan rasa ngeluh dan insecure.
Kita ibaratkan dengan pendakian ini:
Mendaki dengan rasa pantang menyerah, akan membuahkan hasil yang membuat senyum semringah. Lain cerita dengan mendaki yang dihiasi dengan perasaan keluh kesah dan ingin menyerah. Jangan heran, kalau kamu mendapatkan kekecewaan.
Bukan-nya saya menggurui. Saya hanya menasehati, untuk orang lain.. Maupun saya sendiri.
SALAM.....


Comments
Post a Comment